Kebiasaan Media di Indonesia: Berita Palsu!




Saya adalah alumnus jurusan jurnalistik sebuah fakultas ilmu komunikasi terbaik di negeri ini. Selama enam tahun (iya, mestinya tiga setengah tahun), saya berada di lingkungan akademisi dan praktisi jurnalistik.

Rabu (16/3) pagi tadi, saya dikejutkan oleh rekan saya, Gita Widiana, yang mengabarkan kalau tulisan rekannya, SInta, diplagiasi sedemikian rupa oleh tiga buah media di Jambi.

Gita dan Sinta adalah mahasiswa kebidanan Unpad. Sudah enam bulan ini mereka tengah mengabdi di Desa Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Kejadian yang dituliskan Sinta adalah pengalamannya bersama Gita saat membawa seorang ibu hamil yang ditandu dengan sarung seadanya. Karena lokasi yang terpencil, untuk mencapai puskesmas, mereka harus membelah sungai menggunakan rakit tanpa atap.

Begini tulisan aslinya:

Surat terbuka untuk bapak Presiden Joko Widodo

Assalamualaikum Wr.Wb

kepada yang terhormat bapak presiden jokowi

Saya mengirim surat ini dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak. Bapak sudah sangat menjadi pahlawan untuk saya dan mungkin untuk seluruh masyarakat Indonesia karena telah bersedia menjadi sosok yang bertanggung jawab mengatur negeri indonesia tercinta ini.

Pak, saya seorang mahasiswa kebidanan Universitas Padjadjaran yang hanya sedang mengabdi di desa sumberjaya, kecamatan tegal buleud kabupaten sukabumi provinsi jawa barat bahkan bukan tempat yang sangat jauh dari tempat bapak meneduh.
Saya disini hanya ingin menyampaikan bahwa di jaman yang sudah memiliki berbagai macam alat bertekhnologi tinggi dan kehidupan serba modern ini ternyata ada suatu kehidupan yang sangat mengiris hati. Dimana untuk menjadi sehat pun butuh nyawa untuk dikorbankan.

Pak, pernahkah bapak melihat ibu yang akan melahirkan ada di dalam sehelai sarung dan diangkat menggunakan satu batang bambu? Disini saya menyaksikan dimana ibu yang akan melahirkan diangkat menggunakan tandu dan berjalan melalui jalanan terjal dan tanah merah licin kemudian tidak berhenti sampai sana, ibu tersebut dinaikan ke atas perahu tanpa atap untuk mencapai tempat tujuan demi menyelamatkan calon penerus bangsa.

Pak, tahukah perasaan kami sebagai bidan harus membawa pasien gawat darurat melewati kegawatdruratan sarana dan prasarana di jaman semodern ini? Jika terjadi keterlambatan rujukan, siapa yang harus kami salahkan pak? Bahkan dokter disini pun hanya ada 1 dokter umum. Bagaimana negara ini bisa sehat pak?

Miris hati saya pak, demi tingkatkan kesehatan ibu dan anak bidan desa berani taruhkan nyawa. Tahukah bapak? jangankan untuk mencapai RS, untuk mencapai puskesmas pun butuh waktu 90 menit. Dan jalan yang bukan main, lumpur, bebatuan, bukit adalah rute yang memang biasa kami lalui.

Saya bukan orang yang dilahirkan disini jg bukan org yang mengalami setiap getir kesulitan disini. Tapi 6 bulan saya disini cukup membuat saya banyak menghela nafas sakit. Harus menyaksikan sendiri pengorbanan seorang wanita dan teman seprofesi saya melewati setiap detik dengan tubuh kaku lemas, lidah yang bahkan sudah tak mampu untuk berucap, nafas yang sudah sangat mencekik dan nadi yang bahkan hampir behenti berdenyut melewati setiap ketegangan demi menyelamatkan jabang bayinya.

Tidakah hati bapak teriris? Jika wanita yg diangkat menggunakan sehelai sarung itu adalah bagian dari keluarga bapak
Tidakah hati bapak tersentuh? Jika bidan yang berani taruhkan nyawa itu bahkan tidak meminta jasa tambahan dibandingkan mereka yang hanya duduk manis di ruang ber ac atau bahkan duduk manis melahap sejumlah uang negara yang padahal bisa digunakan untuk membantu sehelai sarung itu menjadi sarana yg lebih layak.

Saya harap bapak bisa memahami setiap bulir kalimat yang saya sampaikan.
Sekali lagi tidak mengurangi rasa hormat saya kepada bapak.

Salam satu Indonesia

Wassalam.
Sinta Daniawati F
Mahasiswa kebidanan FK unpad

Tulisan tersebut diposting di akun Facebook Sinta Daniawati dan turut dishare di Line oleh rekan saya, Gita, tersebut. Lalu, seseorang bernama Erwin Dinatha menulis ulang tulisan tersebut. Saking “kreatif”-nya, Erwin mengaku kalau dia-lah yang menulis, seolah-olah dialah yang ada di dalam tulisan tersebut. Padahal, Sinta menulisnya dengan embel-embel “bidan”. Lah, “bidan” kok laki-laki?

Dengan kemajuan teknologi yang semakin hebat, arus informasi pun hadir dengan teramat cepat. Hal ini dimanfaatkan Tribun Jambi, Metro Jambi, dan (entahlah) ... Jambi, memuat postingan Erwin tersebut. Tribun Jambi bahkan memuatnya di halaman depan, lengkap dengan foto yang sebenarnya merupakan potongan video yang diambil oleh rekan saya, Gita.


Saya pun menyarankan kepada Gita untuk menghubungi media bersangkutan dan meminta mereka minta maaf. Pasalnya, apa yang mereka lakukan tidak main-main: berita palsu!

Sore harinya, Gita kembali mengontak saya dan mengabarkan kalau Pos Kupang yang jaraknya ribuan kilometer dari Jambi, ikut-ikutan memberitakan! Gila!

Gita lalu mengeluh kalau Metro Jambi, sama sekali tidak memberikan permintaan maaf. Mereka malah terkesan menyalahkan akun Erwin Dinata tersebut karena membuat postingan yang tidak benar.

Di berita tersebut, bahkan tidak ada konfirmasi kepada akun Erwin Dinata. Mereka memuatnya mentah-mentah, dan menjadikannya tajuk utama di halaman pertama!

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, menuliskan sembilan (sepuluh) elemen jurnalisme. Poin pertama yang Kovach dan Rosenstiel tulis adalah “Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran”. Saat sebuah media menuliskan sebuah kebohongan, apakah masih layak kalau kegiatan yang mereka lakukan adalah kegiatan jurnalistik?

Dalam ruang kuliah, seringkali terdengar diskusi soal perlu tidaknya kehadiran “Jurusan Jurnalistik”. Pasalnya, media masa kini jarang yang men-syarat-kan karyawan barunya memiliki latar belakang jurnalistik. Anda tak perlu menjadi mahasiswa jurnalistik untuk bisa bekerja di koran ekonomi, karena mereka justru mensyaratkan lulusan fakultas ekonomi. Lagipula, mempelajari jurnalistik pun bisa dipelajari hanya dalam waktu enam bulan.

Pernyataan tersebut memang hampir tepat, tapi tidak selamanya. Di Jurusan Jurnalistik, hampir setiap hari dijejali kajian jurnalistik masa kini dan bagaimana seorang jurnalis semestinya berperilaku. Bisa Anda bayangkan, dalam proses yang begitu masif selama tiga setengah tahun, tentu akan terlihat perbedaan mana jurnalis yang keluaran jurnalistik dengan jurnalis dari jurusan lain. Di jurusan lain, Anda tidak akan menemukan mata kuliah Etika Jurnalistik, Bahasa Jurnalistik, Penulisan Berita, Ekonomi Politik Media, dan sebagainya. Padahal ini amat penting bagi seorang calon jurnalis untuk mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan.


Memuat postingan dari Facebook tentu tidak salah. Hal ini lagi pula sudah diketahui oleh para pejabat, termasuk Walikota Bandung, M. Ridwan Kamil, yang sadar kalau segala hal yang diucapkan pejabat di media sosial itu kutip-able. Ini pula yang membuatnya menuliskan (terlepas ia yang menulis atau bukan) alasan lewat sebuah esai yang panjang tentang mengapa ia tak mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta.

Namun, kalau Anda memuat postingan Facebook dari seseorang yang “tidak tahu siapa”, Anda mungkin mesti mengulang mata kuliah Bang Sahala tahun depan. (Maksudnya, Anda tidak tahu dia siapa karena tidak pernah berinteraksi sama sekali).

Anda tak perlu menjadi mahasiswa jurnalistik untuk membaca diktat “Wawancara” tulisan Sahala Tua Saragih, dosen Jurnalistik Fikom Unpad. Diktat tersebut sudah tersebar di internet. Kalau punya uang lebih, buku-buku “pedoman” jurnalistik sudah bertebaran, dari mulai praktisi sampai akademisi.

Dalam kasus ini, hal yang paling disayangkan adalah (sejauh ini) tidak adanya introspeksi diri dari media-media tersebut. Mungkin saja Anda menganggap kalau hal ini tidak penting. Itu mungkin saja benar karena oplah media-media tersebut tidak begitu besar sehingga masyarakat yang tertipu daya tidak akan terlalu banyak.

Namun, ini lebih dari itu. Ini pula yang pada akhirnya mengusik Gita, yang pernah terlibat dalam pers mahasiswa di kampusnya, merasa kalau apa yang terjadi adalah sesuatu yang salah. Dia, dan rekannya, bisa saja diam. Tapi ini tidak benar. Bagaimana ceritanya media mengakuisisi sebuah cerita dan mengganti nama tempat sesuka mereka? Padahal, Gita dan rekannya, tentu ingin agar cerita yang ia bagikan sampai secara utuh, bukan dipotong-potong seperti itu. Bukankah itu fungsi media? Memberi informasi kepada khalayak?

Mungkin saja postingan Erwin tersebut benar adanya, kalau di tempatnya akses jalan begitu sulit dan bla, bla, bla. Namun, dengan menjiplak tulisan orang lain, siapa yang akan percaya? Terlebih foto yang digunakannya adalah foto di tempat lain, milik orang lain.

Semua orang pasti tak lepas dari kesalahan, tapi kalau dilakukan oleh empat media, apakah itu masih disebut kesalahan? Masih layakkah mereka disebut melakukan kegiatan jurnalisme? Sejauh enam tahun saya kuliah sih rasanya bukan.

Barang bukti

www.kaskus .co.id/thread/56e94f0c5c77982e578b4567/kebiasaan-media-di-indonesia-berita-palsu

Artikel Biar Tranding Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar

Scroll to top